Struktur Lembaga Krama Adat Dalem Tamblingan mengacu pada struktur adat dresta kuna.

Dalam konteks Pemerintah daerah ada Lembaga desa adat sesuai dengan Perda Adat No 4 tahun 2019. Khusus untuk di Catur Desa punya kelembagaan adat yang terkait dengan struktur Lembaga adat Dalem tamblingan.

Struktur adat Dalem Tamblingan berbeda dengan struktur adat yang ada di masing-masing desa adat. Adapun Struktur Lembaga adat adalah sebagai berikut:

- Pengerajeg (Ngurah mancawarna)

- Ngurah Pengenter

- Ngurah Pacek

- Mangku Agung

- Ngurah Pengengeng

- Ngurah Kubayan

- Ngurah Nyarita

Struktur kelembagaan ini sudah ada sejak adat terbentuk. Jadi walaupun masing-masing Desa Adat memiliki struktur kelembagaan adat sendiri, namun Kelembagaan Adat Dalem Tamblingan juga tetap ada.

Hubungan koordinasi antara Lembaga Adat Dalem Tamblingan dengan Lembaga di masing-masing desa adat :

Struktur adat dresta kuna saat ini lebih banyak terkait dengan pelaksanaan upacara upakara pujawali di pura agung dan pura-pura yang ada diwewidangan Adat Dalem Tamblingan. Dalam kaitannya dengan lembaga-lembaga adat modern yang ada saat ini, yang melakukan koordinasi langsung dilakukan oleh Dane Pengerajeg yang meminta tenaga pada masing-masing Lembaga banjar adat.

Dengan adanya kelembagaan adat di masing-masing desa adat yang terjadi saat ini adalah menghilangkan peran Dane Pengerajeg dalam kewenangan ditingkat desa adat terutama yang berkaitan dengan lahan. Struktur Lembaga Adat Dalem Tamblingan berbeda dengan orang-orang yang ada di Lembaga Desa adat. Yang masuk dalam struktur adat Dalem Tamblingan (dresta kuna) berdasarkan garis keturunan. Tidak ada semacam pemilihan. Dan juga tidak ada periode masa jabatan, selama dianggap mampu masih bisa terus menjabat dalam struktur kelembagaan adat.

Dalam dresta kuna perangkat adat tidak disebut dengan prajuru. Penunjukan orang yang akan duduk dalam perangkat adat, karena merupakan garis keturunan maka sebelum ditunjuk sudah ada rapat internal dalam masing-masing klan yang bersangkutan. Periode jabatan antara pengerajeg dengan perangkat adat lainnya tidak selalu sama, bisa jadi karena satu dan lain hal (umur dan kemampuan) pengerajeg sudah ganti tetapi perangkat lainnya masih orang yang sama, pun sebaliknya juga seperti itu.

Dalam kelembagaan ini otoritas lebih banyak pada Dane Pengerajeg. Dalam istilah yang lebih kompleks Dane Pengerajeg itu adalah Pandita Ratu yaitu pemimpin spiritual tetapi sekaligus sebagai pemimpin pemerintahan.

Pada saat pengesahan atau pelantikan dilakukan dengan melakukan upacara Ngaturang Mapeseken. Ini dilakukan di Pura Pemulungan Agung. Ritual ini dilakukan setiap ada pengesahan perangkat adat yang yang baru dan dilakukan tidak serentak sesuai dengan berapa orang yang disahkan pada saat itu.

Tugas dan Fungsi Pemangku Adat

Tugas dan Fungsi:
1. Pengerajeg /Ngurah Mancawarna (keturunan dari Klan Dalem) setara dengan ketua yang bertugas mengawasi atau membawahi semua pengurus dan keanggotaan. mengayomi kerama atau umat. memuput upacara atau ritual adat.
2. Ngurah Pengenter (Keturunan dari Klan Dalem tugasnya melaksanakan prosesi penyadnyan atau upacara adat.
3. Ngurah Pacek menyaksikan upacara, menguatkan legitimasi rituua. dari pangerajag
4. Mangku Agung (Keturunan Klan Dalem) tugasnya melaksanakan upacara adat.di Pura agung
5. Ngurah Pengengeng (Keturunan Klan Pengenter) tugasnya sebagai juru bicara atau humas, juru raos
6. Ngurah Kubayan (Keturunan dari Klan Kubayan) tugasnya Memegang dwe
7. Nyarita (Klan Dalem): Memegang dwe kekelintingan /gong dwe

Selain tugas dan fungsi diatas Krama Adat Dalem Tamblingan juga memiliki jabatan khusus sebagai pelaksana upacara, yaitu:
1. Petugas pemuput (penyiratan): Penyiratan Guru Sakti dari turunan Ida Dalem, Penyiratan Tiga sakti dari turunan Pengenter, Penyiratan Sanding dari turunan Pasek wancing, Penyiratan Sasa dari turunan Barak Tegeh Kori, Penyiratan Susul dari turunan Wong Hindu Kepetet, Permas, Mangku Sayang dari turunan Pasek Wancing

2. Pembantu petugas upacara: Kelian Banjara Adat, Kelian Subak Bangket, Kelian Subak Tegal, Petinggi, Perbekel, Deha Teruna Tekor (Juru Sunggih Duwe), Seka Kelenting Turunan, Menega (Jaga Teleng dan Jaga Wana)

Menega mempunyai tugas khusus menjaga hutan (jaga wana) dan menjaga danau (jaga teleng), terdiri
dari orang-orang yang ditentukan berdasarkan keturunan dan tetap melaksanakan tugasnya hingga saat ini.

Mekanisme Pengambilan keputusan

Mekanisme dalam pengambilan keputusan biasanya dilakukan dengan Rapat (Parum adat) yang dipimpin oleh Pengerajeg. Apabila di laksanakan pada tingkat Banjar Adat disebut dengan Parum Banjar adat, sedangkan bila dilakukan dalam lingkup adat dalem tamblingan disebut dengan Parum Adat Dalem Tamblingan.

Parum ditingkat Banjar Adat dihadiri oleh kelian banjar adat dan krama-nya. Topik yang biasanya dibahas dalam parum tersebut biasanya lebih banyak membahas tentang upacara atau ritual adat seperti hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sebelum melakukan upacara adat.

Paruman yang dilakukan pada tingkat catur desa yang biasanya hadir selain perangkat adat Lembaga juga Banjar adat dari masing-masing wilayah. Topik yang dibahas biasanya sesuai dengan tingkat kebutuhan. Apabila kebutuhannya besar dan mendesak semua ketua-ketua dadia (Klan) juga dilibatkan.
Paruman biasanya dilakukan di Balai Pertemuan. Pada Saat akan melaksanakan Paruman, biasanya menggunakan sarana upakara berupa banten/sajen dan melakukan Piuning ke Pura.

Hukum Adat

Aturan adat yang berkaitan dengan pengelolaan Wilayah dan Sumber daya alam

Krama Adat Dalem Tamblingan masih memegang teguh hukum/aturan yang diwariskan sejak seribu tahun yang lalu, terutama yang terkait dengan Alas Merta Jati, seperti yang tercatat dalam babad Kandan Sanghyang Merta Jati lembar ke-83a, “Engko pasek Tamblingan, jani jan pejah engko, mai engko nunas Wisnu engko.” (Kalian pasek Tamblingan, jika kalian mati/sakit, kemarilah untuk memohon air kehidupan).

Dalam pelaksanaan upacara panca yadnya (Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, Bhuta Yadnya) harus menggunakan sarana air (tirta) dalam setiap prosesnya. Oleh karena itu krama
Adat Dalem Tamblingan sering disebut sebagai penganut Wisnu Waisnawa atau penganut Piagem Gama Tirta. Sebagai bentuk nyata pemuliaan air, aktivitas bukan hanya diwujudkan dengan cara memelihara serta merawat air dan sumber-sumbernya, melainkan juga dengan cara merawat dan menjaga hutan Alas Merta Jati.

Perlindungan pada krama Adat Dalem Tamblingan dan Alas Merta Jati ditetapkan dalam:
1. Prasasti Suradipa berangka tahun 1014 Saka (1092 Masehi) pada masa pemerintahan Sri Suradipa (1101 – 1119 masehi), bisama bagi orang-orang yang berkelakuan jahat terhadap penduduk Tamblingan dan yang ada disekitarnya sangatlah berat: “Harap kamu dengar kutuk perjanjian ini terhadapmu. Apabila ada salah seorang berkelakuan
jahat mempermainkan piagam anugrah Paduka Sri Maharaja kepada penduduk Desa Tamblingan sewilayahnya orang brahmana, kesatria, wesia, sudra, grahasta biksu, laki-laki, perempuan, hamba raja, senapati, pendeta Çiwa atau Buda, semogalah dibebani oleh Betara.
Bila ia tiada terbunuh, terjanglah di mana ia berada. Putarlah kepalanya, tariklah ususnya, keluarkanlah isi perutnya, tariklah hatinya, makanlah dagingnya, patahkanlah tulangnya. Habiskan jiwanya. Kalau ia pergi ke ladang supaya disambar petir, diparang raksasa, dimakan
oleh harimau, dipatuk ular, diputar oleh Dewa-Dewa Manyum segala kesusahan yang diderita. Wahai kamu sang Pancakusika: Korsika, Garga, Metri, Kurusya, Pretanjala jatuhkanlah ia ke dalam samudra, tenggelamkanlah ke dalam kuala, agar diseret buaya dan tuwiran, dililit ular, agar kembali ke tempat neraka, dipalu oleh Sang Yama-Bala, dipukul oleh Sang Kingkara, tujuh kali ia menjelma supaya supaya sakit sengsara hidupnya. Segala kutuk besar dijumpainya dan segala cacat manusia yang dideritanya, rusak tak seperti manusia biasa, semogalah terjadi”

2. Babad Hindu Gobed lembar ke-11 A:
“yang ditugaskan untuk menjaga Alas Mertajati adalah Barak Tegeh Kori, dan yang ditugaskan untuk menjaga danau adalah Pasek Wancing.” Setelah pindah dari Alas Mertajati ke Hunusan, Tengah-Mel, Pangi, dan ke Umejero pada akhir abad ke-14 selanjutnya penjagaan hutan dan danau diberikan kepada menega. Untuk tetap menjaga kesucian hutan dan danau, menega tidak diperbolehkan menetap di sana.

Selain yang tertulis, juga ada aturan-aturan yang tidak tertulis yang tetap diyakini dan dilaksanakan
secara turun temurun:
1. Upacara yadnya Wana Kertih dan Danu Kertih untuk penyucian hutan dan danau setiap dua tahun sekali. Upacara dilakukan Ketika upacara/karya Pengerakih di pura yang ada di sekitar Danau Tamblingan, bertepatan dengan purnama sasih Kapat sesuai dresta kuna Adat Dalem Tamblingan.


2. Upacara Mrasista Danu atau penyucian danau. Upacara dilaksanakan jika ada orang yang meninggal
atau melahirkan di kawasan Danau Tamblingan, keluarga korban wajib melakukan upacara penyucian danau. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa tidak boleh ada pemukiman di sekitar danau.


3. Sarana transportasi di danau Tamblingan masih tetap memakai pedahu tradisional nonsolar (tidak ada pedahu bermesin) guna mengantisipasi pencemaran.


4. Aturan subak yang melarang pengambilan air di atas (lebih hulu) dari Temuku Aya (pembagian air terbesar yang berada pada bagian paling hulu), untuk ketertiban pendistribusian air.


5. Hanya boleh menggunakan jaring dengan ukuran tertentu, jenis pancing tertentu dan tidak boleh sama sekali menggunakan zat kimia beracun, merupakan aturan yang dibuat oleh menega yang bertugas sebagai Jaga Teleng untuk menjaga keseimbangan populasi ikan. Masyarakat Catur Desa Adat Dalem Tamblingan adalah penganut Piagem Gama Tirta yang memuliakan air.

Dresta, pelaksanaan ritual masyarakat Catur Desa Adat Dalem Tamblingan memiliki keunikan,
berbeda dengan desa lain di Bali. Rangkaian panjang upacara atau lilitan karya masyarakat Adat Dalem Tamblingan mempunyai dua tujuan utama, yaitu membersihkan alam dan manusia dari hal-hal buruk, serta berbagi kesejahteraan kepada sesama. Melalui karya yang dilakukan ini diharapkan keseimbangan dan kelestarian kosmos akan terjaga. Yadnya atau upacara berdasarkan pesasihan yang telah dilaksanakan secara turun temurun.

Aturan Adat terkait Pranata Sosial

1. Upacara yadnya Wana Kertih dan Danu Kertih untuk penyucian hutan dan danau setiap dua tahun sekali. Upacara dilakukan ketika upacara/karya Pengerakih di pura yang ada di sekitar Danau Tamblingan, bertepatan dengan purnama sasih Kapat sesuai dresta kuna Adat Dalem Tamblingan.


2. Upacara Mrasista Danu atau penyucian danau. Upacara dilaksanakan jika ada orang yang meninggal atau melahirkan di kawasan Danau Tamblingan, keluarga korban wajib melakukan upacara penyucian danau. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa tidak boleh ada pemukiman di sekitar danau.


3. Sarana transportasi di danau Tamblingan masih tetap memakai pedahu tradisional nonsolar (tidak ada pedahu bermesin) guna mengantisipasi pencemaran. Aturan subak yang melarang pengambilan air di atas (lebih hulu) dari Temuku Aya (pembagian air terbesar yang berada pada bagian paling hulu), untuk ketertiban pendistribusian air.


4. Hanya boleh menggunakan jaring dengan ukuran tertentu, jenis pancing tertentu dan tidak boleh sama sekali menggunakan zat kimia beracun, merupakan aturan yang dibuat oleh menega yang bertugas sebagai Jaga Teleng untuk menjaga keseimbangan populasi ikan.

Aturan yang terkait dengan Pranata sosial yang mengatur tentang pencurian, perkelahian, perselingkuhan saat ini lebih diterapkan pada Lembaga Adat masing-masing desa. Kondisi saat ini yang terjadi adanya tumpah tindih aturan sejak bergantinya Perda No 3 tahun 2003 tentang Desa Pakraman menjadi Perda No 4 tahun 2019 tentang Desa Adat.


Pada waktu menggunakan istilah Desa pakraman lebih memudahkan untuk mengidentifikasi yang mana kegiatan-kegiatan masuk ke ranahnya Desa pakraman dan mana yang masuk ke Desa Dinas.

http://Brasti.org

https://brwa.or.id/wa/view/X2tpVU9KYlNrYXc

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram