Masyarakat Adat Dalem Tamblingan

Alas Mertajati dan Danau Tamblingan adalah dua situs yang sangat disakralkan oleh Masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Catur Desa (MADT).

Alas Mertajati yang luasnya 1300 Ha adalah bagian dari Cagar Alam Batukaru yang luasnya 16000 Ha. CA Batukaru ini adalah penyuplai 1/3 kebutuhan air pulau Bali.

Alas Mertajati dan danau Tamblingan adalah penyuplai air bagi subak 3 kecamatan di Buleleng yaitu Banjar, Busungbiu dan Seririt serta persawahan Jatiluwih di Tabanan.

MADT adalah masyarakat adat dengan keimanan yang dinamakan Piagem Gama Tirta, yang memuliakan air dan selalu menjaga harmoni dengan alam.

Sejak kemerdekaan, alas ini diklaim sebagai hutan negara dan dikelola oleh negara. Sejak 2018 sebagian besar alas Mertajati statusnya dijadikan TWA ( Taman Wisata Alam) oleh negara.

Semakin kebelakang, MADT melihat terjadi degradasi pada alas Mertajati akibat pembalakan dan perburuan liar termasuk pencurian anggrek-anggrek langka dan endemik yang ada disana. Dampak nyata sudah sangat terlihat dengan turunnya debit air pada subak-subak yang airnya tergantung dari alas Mertajati dan danau Tamblingan.

Untuk itu maka MADT berinisiatif untuk melakukan permohonan kepada negara lewat Kementrian LHK agar alas Mertajati dikembalikan posisinya menjadi hutan adat untuk bisa dijaga kesucian dan kelestariannya oleh Masyarakat Adat Dalem Tamblingan.

Langkah awalnya dimulai pada bulan Juli 2019 dengan melakukan pemetaan partisipatif oleh segenap komponen masyarakat adat terutama kaum mudanya dengan difasilitasi oleh yayasan Wisnu dan juga lembaga lain seperti BRWA, Arupa, Samdana Insitute.

Dasar pengajuannya adalah pasal 18b ayat 2 UUD 45 yang mengakui eksistensi masyarakat adat dan keputusan MK no 35 tahun 2012 yang menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada diwilayah adat dan bukan lagi hutan negara.

Salah satu persyaratan untuk bisa diajukan ke kementrian adalah SK bupati yang menyatakan tentang eksistensi MADT.

MADT kemudian menghadap bupati pada bulan November 2019 agar dibuatkan SK tersebut. Bupati menyatakan sangat mendukung keinginan MADT menjadikan alas Mertajati sebagai hutan adat. Tetapi soal SKnya agar dirundingkan dulu dengan tim hukum bupati dibawah koordinasi asisten I.

Tim MADT kemudian berunding dengan tim hukum bupati. Tetapi perundingan menemui jalan buntu pada soal nama entitasnya. MADT mengajukannya dengan bertindak sebagai masyarakat hukum adat sesuai UUD 45, sementara tim hukum pemda merujuk kepada perda desa adat no 14 th 2019 dimana pada perda tersebut tidak ada nomenklatur masyarakat hukum adat. Disana hanya ada istilah desa adat.

Oleh kebuntuan ini, tim pemda berjanji akan menindaklanjutinya dengan membawa persoalan ke propinsi dengan difasilitasi oleh tim pemda.

Tetapi sampai setahun lebih tidak ada kabar tentang tindak lanjut dari hal yang dijanjikan tersebut.

MADT kemudian berinisiatif mengambil jalan administatif yang lain dengan mengacu pada rujukan yang sama dengan rujukan yang dipakai tim hukum pemda yaitu perda desa adat.

Dibuatlah skema kerjasama antara 4 desa adat yang menjadi bagian dari MADT yaitu desa adat Gobleg, Munduk, Gesing dan Umajero. Ke 4 desa adat secara bersama-sama mengajukan permohonan ke KLHK menjadikan alas Mertajati sebagai hutan adat.

Dalam skema ini, bupati hanya perlu menandatangani peta spasial ke 4 desa adat sebagai pembenaran bahwa ke 4 desa adat itu memang menempati wilayah sesuai yang tergambar pada peta.

Setelah beberapa pertemuan, peta spasial wilayah adat kemudian diserahkan ke pemda yang diterima oleh asisten I pada tanggal 21 Januari 2021.

Karena tidak ada kabar tentang perkembangannya meski bupati dan asisten I beberapa kali sudah dihubungi lewat pesan WA oleh ketua tim 9 MADT, maka pada tanggal 11 Februari 2021, dengan didahului pesan WA, MADT mengirim surat dalam format Pdf kepada bupati (dengan tembusan, wakil bupati, ketua DPRD Buleleng dan asisten I) untuk meminta kepastian apakah bupati bersedia menandatangani peta tersebut atau tidak.

Sampai hari ini, tanggal 19 Februari 2021 tetap tidak ada jawaban resmi tentang kepastiannya. Hanya pesan WA singkat yang sifatnya kualitatif seperti, menurut ahli bupati tidak boleh tanda tangan, peta tidak boleh dibuat sembarangan, sedang dikaji nara sumber dsb.

Peta yang kami buat itu sudah kami lakukan semaksimal mungkin sesuai kaidah-kaidah pembuatan peta secara modern dengan didampingi oleh lembaga yang punya kompetensi untuk itu.

Padahal kami sangat terbuka dan bahkan sangat berharap pemda memberi arahan yang jelas bahkan kami sangat siap kalaupun peta yang kami buat harus direvisi misalnya karena ada syarat teknis yang tidak dipenuhi. Karena pemdalah yang jelas-jelas mempunyai resources secara teknis.

Dari situasi seperti ini, maka kami, MADT jadi bertanya-tanya. Apakah pernyataan dukungan bupati saat awal kami mengajukan itu bukan dukungan yang serius? Atau yang lebih buruk apakah bupati atau pemda tidak mau mengakui eksistensi Masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Catur Desa? Padahal antara MADT dengan pemda sudah biasa berkomunikasi baik formal maupun non formal. MADT dengan pemda bahkan pernah membuat nota kesepahaman pada 2015 saat pensterilan pemukiman di danau Tamblingan.

http://Brasti.org

https://web.facebook.com/tamblinganku

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram