Sejarah

Catur Desa Adat Dalem Tamblingan terdiri dari banjar/desa adat/desa dinas Gobleg, Munduk, Gesing, dan Umajero. Keempat desa ini sejak dulu merupakan satu kawasan dalam kesatuan wilayah Adat Dalem Tamblingan, yang pada saat itu hingga kini (dalam konteks adat) berstatus sebagai banjar adat. Pada masa Pemerintahan Belanda, untuk mempermudah administrasi dan pajak, masing-masing banjar tersebut ditetapkan sebagai desa dinas. Selanjutnya, pada masa Pemerintahan Indonesia, masing-masing banjar/desa dinas tersebut ditetapkan juga menjadi desa adat/pakraman. awal mulanya banjar adat yang terdiri dari 4 banjar adat, kemudian oleh pemerintahan Belanda ditetapkan menjadi dua desa dinas, yaitu Desa Gobleg dan Desa Munduk. Setelah kemerdekaan barulah ada Desa Gesing dan Umajero. Desa Gesing dan Desa Umajero awalnya menjadi satu dalam Desa Munduk. Jadi dari banjar adat tersebut menjadi 4 desa dinas setelah jaman kemerdekaan, kemudian terjadi perubahan status menjadi Desa Adat atau Desa Pakraman.

Ada tiga prasasti yang menguatkan fakta keberadaan Adat Dalem Tamblingan, yaitu prasasti Ugrasena (922 M), Udayana (tanpa angka tahun, 991 M – 1018 M), dan Suradipa (1119 M). Selanjutnya diperkuat oleh prasasti No 902 Gobleg Pura Batur C berangka tahun Saka 1320 (1398 M) pada masa pemerintahan Sri Wijayarajasa. Pada prasasati ini disebutkan bahwa, desa-desa kecil yang ada di bawah kekuasaan Desa Tamblingan, yakni Hunusan, Pangi, Kedu, dan Tengah-Mel.” Hunusan kemudian dikenal dengan nama Gobleg, Pangi dengan nama Gesing, Batu Mecepak menjadi Umajero, dan Tengah-Mel menjadi Munduk.

Hutan di sekitar Danau Tamblingan, oleh masyarakat Adat Dalem Tamblingan diberi nama Alas Merta Jati, sumber kehidupan yang sesungguhnya. Hutan adalah penangkap air, air dari hutan ini kemudian mengalir ke tanah-tanah pertanian dan perkebunan di bawahnya. Masyarakat atau krama Adat Dalem Tamblingan adalah masyarakat yang memuliakan air. Ritual dan keyakinan krama Adat Dalem Tamblingan disebut sebagai piagem gama tirta. Di dalam kawasan hutan itu pun terdapat pura-pura atau pelinggih-pelinggih yang semua saling terkait. Ada 17 pura di dalam kawasan Alas Merta Jati Tamblingan yang di-sungsung, disucikan oleh krama Adat Dalem Tamblingan. Kekayaan inilah yang kemudian menjadikan Tamblingan ditetapkan menjadi Hutan Tutupan sebagai Hutan Wisata oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1927. Selanjutnya pada tahun 1934 menjadi bagian dari kawasan Cagar Alam Batoekaoe (RTK. 4) yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air. Kemudian pada masa Pemerintahan Indonesia, Tamblingan ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No 144/Kpts-II/1996 tanggal 4 April 1996 dengan luas 1.336,5 hektar. Saat ini pengelolaannya berada di bawah Balai KSDA Bali. Dalam Peraturan Gubernur Bali No 77/2014 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi Bali Tahun 2014 – 2034 disebutkan bahwa pengembangan potensi wisata alam juga dapat berupa wisata religi/spiritual dan wisata medis atau wisata kesehatan. Namun pada kenyataannya, justru setelah kawasan Alas Merta Jati ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam, hutan Adat Dalem Tamblingan sebagai sumber kehidupan mengalami degradasi, banyak pohon langka dan pohon besar yang hilang sehingga kerapatan hutan semakin berkurang. Selain itu, status Tamblingan sebagai Taman Wisata Alam menjadikan kawasan ini banyak didatangi orang yang melakukan kegiatan wisata yang bersifat privat dan tidak dapat dikontrol, dan dikhawatirkan secara tradisi dapat mencemari kesucian kawasan Adat Dalem Tamblingan.

Sejarah Dalem Tamblingan dikisahkan dalam babad Hindu Gobed, babad Kandan Sang Hyang Merta Jati, dan lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul yang secara ringkas telah dituliskan pada tahun 1990-an (tidak diketahui pasti tahun penulisannya) oleh Mangku Nyoman Gunung, dkk dalam Menelusuri Jati Diri Dalem Tamblingan. Buku tersebut juga mengacu pada tulisan Drs. Made Geria dalam Seri Penerbitan Faorum Arkeologi ISSN 0854-3232 No I/1992-1993.

Dikisahkan, Sang Hyang Aji Sakti, dengan ketajaman yoga semadinya di Pegunungan Kelasa, India Utara melahirkan putra-putri sebanyak empat orang, yaitu Dewa Bramang, Dewa Mas Ngencorong, Dewa
Bahem, dan Dewa Ayu Nare Swari. Setelah dewasa ketiga putra Sang Hyang Aji Sakti diutus ke Nusantara, yaitu:

  • Dewa Bramang melinggih di Solo
  • Dewa Mas Ngencorong melinggih di Kulangkung/Klungkung
  • Dewa Bahem melinggih di Alas Merta Jati Tamblingan


Alas Merta Jati Tamblingan merupakan pemukiman yang dibangun oleh Dewa Bahem sejak abad ke- 10 hingga akhir abad ke- 14. Dewa Bahem dengan para pengiringnya pertama kali tiba di sebuah gua yang ada di Alas Merta Jati, bernama Gua Naga Loka pada abad ke-10. Ketika itu telah ada penduduk asli penghuni Tamblingan, yaitu Pasek Tamblingan, Pasek Panji Landung, dan Pasek Kulisah. Kedatangan Dewa Bahem di Alas Merta Jati diterima dengan baik oleh penduduk asli dan hidup berdampingan dengan baik. Dewa Bahem kemudian mohon restu kepada Sang Hyang Naga Gelundung dan Sang Hyang Purwa Bumi untuk membuka Alas Merta Jati sebagai tempat pemukiman dengan sarana banten/sesajen. Banten dengan segala kelengkapannya diturunkan ke lubang Gua Naga Loka sebagai kunci pertiwi agar bumi beserta isinya tetap seimbang dan membawa berkah. Sebagai tanda restu dari Sang Pencipta, Dewa Bahem mendapatkan wara nugraha/paica berupa keris dan wija ratus (terdiri dari beras ketan hitam-putih, beras merah-putih, pindulan, kelapa yang dihancurkan, kunyit, cekuh, jahe, pala, merica, tabia bun). Selanjutnya kedua paica tersebut diagungkan sebagai perlambang pengukuhan/ penobatan Dewa Bahem sebagai Dalem Tamblingan, dan sejak saat itulah Beliau kabhiseka, disebut “Dalem
Tamblingan”.

Nama Tamblingan juga terkait dengan kisah penyembuhan Dewa Bahem pada masyarakat Merta Jati. Pada suatu ketika, saat tilem sasih Kanem penduduk Merta Jati banyak yang jatuh sakit. Dalem Tamblingan kemudian pergi ke sebuah empang di lembah dalam kawasan Alas Merta Jati, mengambil air sebagai sarana pengobatan dengan menggunakan sangku (wadah tirta, air suci) Sudamala. Air yang telah diambil kemudian disucikan dengan kesidiadnyanan (kemampuan pikiran dan kesadaran tingkat tinggi) melalui doa dan japa mantra, selanjutnya dipercikkan kepada semua orang yang sakit. Masyarakat Merta Jati pun akhirnya terbebas dari wabah penyakit. Empang tempat air tersebut berasal kemudian dinamakan Tamba Eling, sumber air obat yang dipertajam melalui kesidiadnyanan. Hingga kemudian Tamba-Eling menjadi Tamba-Ling, dan akhirnya menjadi Tamblingan.

Dalam perkembangan berikutnya, pada akhir abad ke-14, atas dasar alasan menjaga kesucian air danau sebagai sumber kehidupan yang telah memberikan kesembuhan, Dalem Tamblingan (kemudian menjadi sebutan secara turun-temurun untuk Sang Pemimpin) dan seluruh krama Tamblingan rela meninggalkan Alas Merta Jati. Sebagian ada yang kemudian berdiam di Hunusan (saat ini bernama Desa Gobleg), Tengah-mel (Desa Munduk), dan di Pangi (Desa Gesing). Dari Pangi selanjutnya ada yang pindah ke Umejero. Hal ini diperkuat oleh Prasasti No 902 Gobleg Pura batur C berangka tahun saka 1398 M pada masa pemerintahan Sri Wijaya Rajasa. Keempat desa inilah kemudian disebut Catur Desa Adat Dalem Tamblingan. Dalam konteks Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, masing-masing desa, yaitu Gobleg, Munduk, Gesing, dan Umejero berkedudukan sebagai banjar adat. Kemudian, pada tahun 1980-an, muncul pemukiman liar tidak permanen di seputar Danau Tamblingan. Pemicunya adalah dibentuknya kelompok nelayan oleh Pemerintah Kecamatan Banjar dan Kabupaten Buleleng untuk diikutkan Lomba Nelayan Tingkat Kabupaten. Inferioritas masyarakat adat dan superioritas pemerintah menyebabkan pemukiman ini semakin berkembang baik dalam kuantitas maupun kualitas bangunan. Pemukim semakin bertambah dan bangunan semakin berkembang menjadi semi permanen, bahkan permanen. Pada tahun 2014, ketika pemukim sudah mencapai 65 KK dan bangunan semakin banyak yang permanen, masyarakat Adat Dalem Tamblingan memutuskan bahwa hal tersebut tidak bisa dibiarkan, apalagi diteruskan. Lobi-lobi dengan instansi terkait dilakukan dan pendekatan persuasif kepada pemukim dilakukan. Setelah melewati proses yang cukup panjang dan berliku, akhirnya eksekusi pensterilan kawasan danau Tamblingan dari pemukiman bisa dilaksanakan pada tanggal 25 April 2015.

Peristiwa tersebut adalah jejak terkini yang menunjukkan bahwa masyarakat Adat Dalem Tamblingan tetap berkomitmen secara konsisten untuk menjaga kesucian kawasan Danau Tamblingan dan Alas Merta Jati.
Hubungan komunitas yang berada di 4 desa ini memiliki hubungan kekerabatan walaupun tidak dalam satu kawitan, misalnya dalam ikatan perkawinan dan satuan-satuan. Mulanya masing-masing Desa Adat ini berstatus banjar adat. Sampai menjadi Desa dinas dan Desa adat, batas wilayah tidak mengalami perubahan. Batas yang digunakan mengacu pada prasasti seperti Batu Mecepak, Hunusan. Batas wilayah yang disebut dengan Banjar Adat Gobleg, Munduk, Gesing dan Umajero itu bentuk dari kesepakatan orang tua terdahulu. Lebih mengacu pada batas alam.

Desa Gobleg merupakan Desa induk dari keempat banjar adat. Setelahnya ada 2 desa dinas yaitu Desa Gobleg dan Desa Munduk. Dalam status banjar adat terdahulu bentuk kelembagaan adat, ketuanya disebut dengan kelian banjar adat yang dibantu dengan prajuru. Transisi dari banjar adat menjadi desa dinas otomatis ada kepimimpinan baru yang disebut dengan kepala desa. Mekanismenya, tidak langsung atau tidak otomatis kelian banjar adat tersebut menjadi kepala desa yang disebut dengan Perbekel tetapi ada proses pemilihannya lagi. Sehingga pada waktu itu ada dua pemimpin dalam satu wilayah yaitu kelian banjar adat dan perbekel.

Perkembangan Masyarakat adat ini juga dinamis. Begitu Belanda membentuk perbekel sebagai pemerintahan dinas tetapi dalam ritual adat perbekel tetap dilibatkan dan mempunyai peranan penting. Karena ada dua kepemimpinan dalam satu wilayah pembagian perannya dilakukan secara masing-masing. Hal yang terkait dengan urusan adat dipimpin oleh Kelian Banjar Adat sedangkan untuk urusan administrasi oleh Perbekel Desa Dinas. Kemudian Pemerintahan Bali membuat Perda Desa Adat sehingga dalam satu kewilayahan ada tiga pimpinan. Bendesa sebutan untuk pemimpin Desa Adat, Perbekel untuk Desa Dinas dan kelian untuk pemimpin Banjar Adat.

Terjadi perlawanan pada zaman Penjajahan Belanda. Pada waktu itu ada istilah penyingkiran yang artinya menyingkir atau mengungsi ke hutan. Pada zaman penjajahan jepang tidak ada perlawanan hanya kesengsaraan yang dirasakan karena hasil panen semua diambil. Situasi seperti itu disebut dengan istilah “bumi kenyat/sayah” jaman serba susah krisis pangan.

Perubahan kelembagaan adat sejak adanya UU No 6 tahun 2014 tentang desa banyak implikasi baik yang secara langsung maupun tidak langsung terjadi. Dengan adanya undang-undang ini mereduksi peran adat secara tidak langsung misalnya: keuangan desa melalui satu pintu. Siapapun pemakai uang itu harus di SK-kan oleh kepala desa dinas. Ada anggaran untuk Desa Adat berarti Desa adat diberikan SK oleh Perbekel. Ini secara psikologis menjadi agak rancu. Karena seharusnya Desa Adat yang membuat SK untuk kepala desa tetapi kondisi saat ini justru sebaliknya. Kedudukannya antara Desa adat dan Desa dinas adalah setara. Tetapi jika berbicara masalah kewenangan penggunaan anggaran menjadi atasan dan bawahan. Ini karena Kepala desa yang mengeluarkan SK penggunaan anggaran untuk Desa Adat. Dalam menyikapi hal seperti itu tidak banyak hal yang bisa dilakukan karena sudah ada payung hukum dalam bentuk Perda Desa Adat. Tetapi secara gradual itu sangat mendegradasi peran desa adat.

Terkait dengan tenurial, yang mempunyai kewenangan dalam pelaksanaan program-program pemerintah daerah desa terutama desa dinas adalah Perbekel. Tetapi yang terkait dengan wilayah adat adalah kewenangan ada pada Desa Adat. Apabila akan ada investor masuk maka kedua-duanya mempunyai hak untuk menerima ataupun menolak. Apabila salah satu tidak menerima maka program tidak akan berjalan.
Terkait dengan perubahan identitas dalam pengelolaan lahan, dari dahulu pencaharian terbesar masyarakat adat dengan bercocok tanam karena termasuk masyarakat agraris yang dinamis. Dahulu sawah masih banyak tetapi sangat ini sudah mulai berkurang. Dulu tanaman yang paling jaya adalah kopi sampai tahun 1960. Tahun 1970 mulai beralih ke komodity cengkeh. Di Catur Desa pernah juga menjadi central bawang putih, vanilli, dan kakao. Tanaman tersebut bukan tanaman asli atau endemic di lokasi tersebut. Tanaman kopi dibawa oleh Belanda, sedangkan tanaman cengkeh dikembangkan sendiri oleh masyarakat setempat. Sistem bercocok tanam dahulu dan sekarang mulai berubah atau berbeda. Yang membuat perbedaan terbesar itu adalah revolusi hijau terbaru yang sebetulnya banyak merubah mentalitas petani. Petani-petani jaman orang tua terdahulu secara mental sebenarnya adalah mental produsen. Misalnya: bibit dibuat sendiri, pupuk diupayakan sendiri dengan memanfaatkan kotoran sapi dll. Setelah revolusi hijau semua harus dipacu, maka mulailah pestisida, pupuk kimia. Jadi perubahan yang terbesar itu adalah mental. Dari mental produsen ke mental konsumen.

Kalender musim dari dulu hingga sampai saat ini tetap berjalan. Saat ini banyak pendatang yang bukan warga asli bermukim disini. Datangnya dari penjuru pulau bali ada di komunitas ini. Sifatnya ada yang sementara ada juga yang menetap. Ini disebabkan salah satunya akibat dari meletusnya gunung agung pada tahun 1963. Banyak masyarakat Karangasem yang datang mengungsi ke wewidangan Catur Desa Adat Dalem Tamblingan akhirnya menetap sampai sekarang. Mereka yang menetap ini akhirnya memiliki lahan disini dan ada juga yang sifatnya menggarap lahan orang lain. Awal mulanya mereka menggarap lahan, tetapi akhirnya karena ada transaksi jual beli mereka bisa mempunyai lahan. Yang memberi ijin untuk memiliki lahan adalah pemerintah desa setempat. Karena sudah menjadi penduduk desa atau berdomisili di desa tersebut maka mereka bisa atau punya hak untuk membeli.

Konflik Teritori yang terjadi di Masyarakat Adat Dalem Tamblingan, pada tahun 2001 ada rencana pemekaran Banjar Tamblingan menjadi Desa Pakraman Tamblingan. Terminology Banjar Tamblingan mau menjadi Desa Pakraman Tamblingan itu dirasa kurang tepat. Karena faktanya hanya sebagian orang saja yang menginginkan pemekaran itu terjadi. ada dugaan ini hanya intrik politik yang istilah tepatnya masalah ekonomi dan politik yang berbaju adat.

Kawasan Alas Mertajati tumpang tindih dengan Taman Wisata Alam (TWA), hutan lindung dan kawasan cagar alam. Dalam Kawasan Alas Mertajati terdapat tanah pribadi yang berstatus APL. PT Bali Nusa Abadi sudah membawa ijin produsif dari Menteri kehutanan yang akan memanfaatkan Alas Merta Jati seluas 121 Ha untuk mendirikan villa.

Saat ini sedang dilakukan upaya-upaya untuk memperoleh pengakuan di Kabupaten. Secara de facto MADT diakui sebagai Masyarakat Hukum Adat, tetapi secara de jure pengakuannya tidak ada.

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram